Wednesday, September 5, 2012

Tata Ruang Rumah Bali


 Tata Ruang Rumah Bali

Tata ruang rumah Bali yang lebih bersifat fisik mempunyai berbagai variasi, namun demikian pada dasarnya memiliki kesamaan yang selalu ada di dalam suatu tata ruang rumah Bali. Kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. Keseimbangan Kosmologi dan Hirarki Ruang

    Tri Hita Karana dan Tri Angga, pekarangan rumah tradisional Bali memiliki susunan ruangan yang dibagi menjadi tiga, yakni: Utama Mandala (kaja-kangin) untuk parhayangan atau tempat suci yaitu sanggah atau pamerajan; Madya Mandala (tengah) untuk pawongan; Nista Mandala (kelod-kauh) untuk palemahan. (Gelebet, 1986:77).

2. Orientasi Kosmologi

Transformasi fisik dari konsep Sanga Mandala menjadi dasar penataan ruang rumah tradisional Bali desa dataran, dengan membagi pekarangan menjadi sembilan ruang (Gelebet, 1986:78). Sembilan ruang tersebut terdiri dari utamaning utama (kaja-kangin), utamaning madya (kaja), utamaning nista (kelod-kauh), madyaning utama (kangin), madyaning madya (tengah), madyaning nista (kauh), nistaning utama (kelod-kangin), nistaning madya (kelod), nistaning nista (kelod-kauh).

3. Konsep Ruang Terbuka

Konsep akasa-pertiwi diterapkan dalam pola ruang kosong (open space) dalam rumah tinggal yang dikenal dengan natah. Natah merupakan simbol tempat pertemuan antara purusa dan pradana, yaitu pertemuan antara akasa/langit dan pertiwi/tanah/bumi. Dengan demikian makna natah yang paling utama adalah memberi peluang suatu kehidupan, yakni berumah tangga selama jiwa bertemu dengan raga atau sepanjang ayat dikandung badan. Pertemuan purusa dan pradana ini menghasilkan benih-benih kehidupan (Gomudha, 1999:94). Keberadaan purusa (kelaki-lakian) yang berlawanan dengan pradana (kewanitaan) juga merupakan konsep rwa bhineda, dua hal yang bertentangan tetapi tidak saling memusnahkan dan menghilangkan salah satunya, melainkan keduanya harus berjalan selaras dan seimbang.

Tata ruang rumah Tradisional Bali mengikuti konsepsi kosmologis dalam penataan pekarangannya. Tata letak massa bangunan yang diposisikan sesuai dengan fungsi, makna, serta tata nilainya. Rumah dianggap sebagai mikrokosmos semesta yang bersimbol pada teritori, orientasi, tata letak, dan hirarki ruang-ruang.



Layout Rumah Tradisional Bali Dataran
Sumber : http://forum.isi-dps.ac.id
Penataan rumah tradisional pada desa pegunungan cukup sederhana. Rumah terdiri dari tiga fungsi bangunan, yakni: sanggah, bale meten, dan bale delod. Tata letak bangunan berjejer mengikuti konsep ulu-teben (hulu-hilir), sanggah berada di posisi ulu, demikian seterusnya hingga bale delod dan pamesuan menempati posisi teben. Di antara bale delod dan bale meten terdapat natah sebagai ruang bersama dengan fungsi sirkulasi dan sosialisasi. Pada desa dataran, penataan rumah tradisional menggunakan pola sanga mandala, yang mana sanggah berada di zone timur laut, bale meten pada arah utara bale dangin pada arah timur, bale dauh pada arah barat, jineng pada arah tenggara, bale delod pada arah selatan, paon pada arah barat daya, dan natah pada arah tengah (Parimin, 1986:138).

Penataan Rumah Tradisional Bali memperlihatkan ciri-ciri yang khas dan keragaman. Hal tersebut karena adanya Desa-Kala-Patra (tempat-waktu-keadaan) dan Desa-Mawa-Cara yang menjelaskan adanya fleksibilitas yang tetap terarah pada filosofinya (Meganada, 1990:51). Namun beberapa tipe rumah seperti disebutkan sebelumnya selalu memiliki atribut yang sama seperti sanggah, meten, bale (delod/dangin/dauh), jineng, paon, dan natah (Runa,2003:55). 

Setelah mengetahui apa yang dimaksud dengan konsep inkulturasi dan Arsitektur Tradisonal Bali, maka “Inkulturasi Arsitektur Tradisional Bali” adalah  transformasi mendalam dari prinsip filosofis, prinsip praktis, dan prinsip manfaat ATB yang berlandaskan ajaran agama Hindu ke dalam rumah etnis Tionghoa. Hasil transformasi antara dua pihak (ATB dan rumah etnis Tionghoa) ini tetap memegang identitas masing-masing dan saling memperkaya (enriching) satu sama lain. 

REFERENSI
Budiharjo, Eko. 1990. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Gelebet, Nyoman. dkk. 1986. Arsitektur Tradisional Daerah Bali. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Bali, Denpasar.
Gomudha, I Wayan. 1999. Reformasi Nilai-Nilai Arsitektur Tradisional Bali pada Arsitektur Kontemporer di Bali (tesis). Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh November.
Meganada, I Wayan. 1991. Pola Tata Ruang Arsitektur Tradisional dalam Perumahan KPR-BTN di Bali (tesis). Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Parimin, Ardi P. 1986. Fundamental Study on Spatial Formation of Island Village: Environmental Hierarchy of Sacred-Profan Concept in Bali. (disertasi). Osaka University of Japan
Runa, I Wayan. 2003. Sistem Spasial Rumah Tinggal Desa Pegunungan di Bali Dalam Perspektif Sosial Budaya (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
www.forum.isi-dps.ac.id

Friday, August 24, 2012

Arsitektur Tradisional Bali



ARSITEKTUR TRADISIONAL BALI
Arsitektur Tradisional Bali (ATB) merupakan perwujudan dari usaha untuk menciptakan ruang untuk pelaksanaan aktivitas yang berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi, baik dari materi maupun spiritual. Dengan demikian, ATB tidak hanya meliputi aspek fisik tetapi juga non-fisik; tidak saja berdasarkan pertimbangan yang pasti dan rasional, tetapi juga berdasarkan perasaan, estetis, dan bahkan berdasarkan pada pertimbangan spiritual, sesuai dengan nilai, norma, kepercayaan, adat istiadat dan agama Hindu di Bali (Rumusan Arsitektur Bali, 1984:p.1).
Arsitektur Tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari zaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada lontar Asta Kosala-Kosali, Asta Patali, dan lainnya, sampai pada penyesuaian-penyesuaian  oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud (Wikipedia, htpp://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur Bali, 2009).
NORMA DALAM ATB 
Norma adalah aturan-aturan untuk bertindak bersifat khusus, sedangkan perumusannya biasanya amat terinci, jelas, tegas, dan tidak meragukan (Koentjaraningrat, 1986:195). Jika dikaitkan dengan Asta Kosali (lontar mengenai bangunan), maka pengertian norma berarti konsep yang menata tindakan manusia dalam membangun perumahan dan permukiman yang bersumber dari lontar Asta Kosali, atau pedoman dasar dalam merancang rumah tradisional Bali. Norma Asta Kosali banyak bersumber dari ajaran agama Hindu, sehingga memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan masyarakat Bali. Pelanggaran norma yang tertuang dalam Asta Kosali juga berarti pelanggaran terhadap norma agama Hindu (Sulistyawati, 2007:2).
Bentuk-bentuk norma tersebut antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut:
 (a). Norma pertama, dalam membangun perumahan, pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah pemilihan hari baik (dewasa ayu) untuk memulai tahapan-tahapan pekerjaan. Pemilihan hari baik berarti memaksimalkan pengaruh baik dari hari bersangkutan (pengaruh kosmos) pada bangunan(Sulistyawati, 2007:3). 
(b). Norma kedua, berkaitan dengan jenis-jenis ukuran untuk keseluruhan bagian-bagian bangunan dan jenis-jenis ukuran untuk keseluruhan bagian-bagian tertentu. Setiap ukuran ATB selalu mengambil skala orang (manusia) yang akan menghuni bangunan tersebut. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi hubungan yang harmonis antara pemilik dengan bangunan yang dihuni. Keharmonisan yang dimaksud bukan saja bersifat fisik (sekala) tetapi juga diwujudkan dalam bentuk hubungan non-fisik (niskala), melalui upacara-upacara tertentu. Upacara yang terpenting diantaranya adalah ngaug sunduk dan pamelaspas (Sulistyawati, 2007:3).
 (c). Norma ketiga, berkaitan dengan jenis upacara dan mantra yang berkaitan dengan seluruh tahapan pekerjaan, disertai sanksi-sanksi yang ditujukan kepada undagi dan sangging, sebagai wujud penyatuan kekuatan supranatural dengan fisik bangunan yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu bangunan yang utuh jiwa dan raga seperti manusia (Sulistyawati, 2007:3).
 PRINSIP-PRINSIP DALAM ATB
Prinsip-prinsip ATB dikelompokkan menjadi tiga yaitu : prinsip filosofis yang terdiri dari atas sembilan hal, prinsip praktis yang terdiri atas 15 hal, dan prinsip manfaat yang terdiri atas enam hal (Sulistyawati, 1995:100). Berikut adalah prinsip-prinsip dalam ATB tersebut:
Tabel 2.2 Prinsip-Prinsip dalam ATB
PRINSIP DALAM ATB
Prinsip Filosofis
Prinsip Praktis
Prinsip Manfaat
Trihita Karana
Buwana agung–buwana alit
Manik ring cecupu
Catur purusa artha
Tat twam asi
Tri loka
Desa kala patra
Dewata nawa sanga
Rwa bhineda

Hulu teben
Tri mandala
Sanga mandala
Swastikasana
Tri angga
Natah
Ornamen dan dekorasi
Warna alami lokal
Fungsi
Bahan alami lokal
Kejelasan struktur
Sikut (ukuran)
Ukuran bangunan
Ketinggian
Urutan membangun
Upakara
Astawara
Undagi
Pengurip
Tri pramana
Wewaran (padewasaan)
Sumber : Dirangkum dari Sulistyawati, 2007.
Semua prinsip praktis merupakan realisasi dan pencerminan dari prinsip filosofis dan prinsip manfaat. Jadi, wujud bangunan dan pola penataan ruang dalam perumahan pada permukiman tradisional Bali sudah merupakan prinsip filosofis dan prinsip manfaat serta prinsip praktis itu sendiri (Sulistyawati, 2007:6).

 REFERENSI:
 Rumusan Arsitektur Bali. 1984
Sulistyawati Made. 2007. Konsep dan Prinsip Arsitektur Tradisional Bali serta Nilai Budayanya. Buku Ajar Program SIT Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana. Belum dipublikasikan

_______________________. 1995. Balinese Traditional Architectural Principles in Hotel Building (disertasi). Oxford : School of Architecture, Faculty of Environment, Oxford Brookes University